Cerdas dalam Intelektual, Pengusaha dan Dunia Spiritual
Lahir pada 26 Juni 1945, Catur Arbawa masih terlihat segar di usianya yang menginjak 75 tahun. Pemilik dari Catur Adi Putra Hotel ini, ternyata sama sekali tidak memiliki latar belakang keluarga yang bekerja di dunia pariwisata, melainkan sebagai penjual kuliner khas Bali, yakni babi guling dan ikan penyu.
Awal mula pembangunan hotel, dengan membeli tanah seluas 20 are oleh Ayahanda Catur Arbawa di daerah Banjar Gelogor, Pemecutan-Denpasar. Selain tabungan yang telah dimiliki, modal juga didapatkan dari hasil penjualan berdagang lawar penyu. Hasil pembelian tanah tersebut kemudian digunakan untuk pembangunan hotel seluas 16 are, sisanya diberikan 4 are kepada kakak perempuan.
Sebelum akhirnya dilakukan pengembangan untuk sebuah usaha pada tahun 1985, tanah tersebut masih berupa pepohonan. Hingga kemudian diratakan, dan siap dibangun rumah kost bertingkat dengan jumlah 12 kamar. Berbekal ilmu manajemen yang dimiliki, Ida Pandita (Catur Arbawa kembali menambah jumlah kamar menjadi 24 kamar. Hal ini dilakukan tentu setelah melakukan pertimbangan yang matang dengan keluarga, dengan mengambil kredit dari Bank BNI dan BPD sebesar 75 juta rupiah.
Seiring berjalannya waktu, Catur Arbawa yang saat itu juga memiliki tanah di Jalan Subur, kemudian melakukan transaksi dengan pemilik tanah di Jalan Imam Bonjol. Dari penjualan tanah, ia kemudian menambah fasilitas kolam renang, dan menambah hingga jumlah kamar menjadi 68 kamar untuk tamu, 1 kamar untuk kantor dan 1 ruang arsip. Berlokasi di jantung kota Denpasar yang strategis, tepatnya di Jalan Bukit Tunggal No 35, Gelogor, Pemecutan – Denpasar Barat.
Fokus Dalam Pendidikan
Setelah sepeninggal nenek, usaha kuliner kemudian dilanjutkan oleh orangtua dan saudara, di Denpasar tepatnya di Gelogor, Pemecutan dengan warna yang lebih berbeda, yakni menjual olahan lawar penyu. Catur Arbawa yang sedang melakukan studi di Universitas Brawijaya pada tahun 1964, tidak memiliki kesempatan untuk mempelajari usaha orangtua. Karena hal itu, sepeninggal ibu untuk selamanya, usaha kuliner tersebut berhenti di tangan generasi kedua.
Sebelum lulus dari pendidikannya, Catur Arbawa mendapat kepercayaan oleh Dekan Fakultas Ekonomi, Bapak Robertus Suharno untuk ikut membantu dalam Proyek Induk Serbaguna, Kali Brantas, Mojokerto-Jawa Timur, kemudian dipindahkan ke Proyek DAM Lengkong Baru. Sambil bekerja, ia pun harus bolak-balik menyusuri jalan Malang-Mojokerto juga demi menyelesaikan studinya, yang akhirnya sukses diraih pada tahun 1972.
Sedari kecil, Catur Arbawa memang tidak memperoleh izin untuk mengambil pekerjaan, ia diminta untuk lebih fokus pada pendidikannya, terutama dorongan tersebut datang dari Sang Ayah. Orangtuanya memiliki konsep dalam mendidik anak-anak mereka, bahwa melalui pendidikanlah yang mampu mengembangkan jati diri anak-anak mereka. Selain itu juga memberi pengaruh positif sehingga dapat meningkatkan derajat keluarga dan memiliki cara pandangan lebih terbuka dari setiap tantangan yang ada di hadapan mereka kelak. Apalagi di zaman itu, di daerah Gelogor minim masyarakatnya yang mengenyam pendidikan dan ia merupakan anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga, yang menjadi garis penerus keturunan.
Catur Arbawa kembali melanjutkan pekerjaan di Proyek Kali Brantas, pilihannya untuk meniti karir di bidang ini beberapa kali ia tekuni, meliputi Kepala Seksi Personalia di Proyek DAM Lengkong Baru (tahun 1970-1974), kemudian dipindahkan ke Proyek Bendungan Selorejo, sebagai Kepala Biro Logistik (tahun 1974-1977), selanjutnya dipindahkan ke Proyek Bendungan Karangkates dan alahor/Wlingi di Blitar, menjadi Asisten Penyediaan Tenaga Kerja dan Barang (tahun 1978-1981). Setelah itu pindah tahun 1982-1989 ke Proyek Irigasi Bali menjadi Kepala Staf Administrasi. Setelah itu mutasi ke Kanwil PU Provinsi Bali menjadi Kepala Bagian Tata Usaha (tahun 1990-1999).
Setelah pensiun pada tahun 2000, Catur Arbawa concern dalam pendidikan empat orang anaknya (tiga laki-laki dan 1 perempuan), seperti halnya semasa ia kecil bagaiman orangtuanya telah berjasa dalam mendidik dan membesarkan ia dan saudara-saudaranya yang lain. Sembari bekerja di Universitas Pendidikan Nasional sebagai pengajar, Catur Arbawa sukses menghantarkan pendidikan anak-anaknya hingga memperoleh pengalaman bekerja ke luar negeri, yakni di Maskapai Penerbangan Singapura.
Tak hanya sukses dalam pendidikan, putra-putri Catur Arbawa pun turut melengkapi kebahagiaannya dan Sang Istri, dengan dianugerahi 10 orang cucu dan tiga diantaranya merupakan anak kembar, tentu hal ini menjadi sebuah anugerah yang luar biasa dalam hidupnya. Di samping itu, Catur Arbawa juga sedang menyelesaikan kuliah study S2 tahun 1994 (M.B.A) di STIE Ganesha, Jakarta; S2 (M.M) tahun 1996 di Universitas Krisna Dwipayana, Jakarta; dan S3 (Ph.D) tahun 1999 di Institute of Management Study di Jakarta.
Perjalanan Spiritual
Sepulang dari Pulau Jawa, Catur Arbawa ditunjuk oleh Kelian Banjar sebagai Panitia Pembangunan Banjar. Untuk mengumpulkan modal pembangunan banjar, ia mengajak masyarakat yang memiliki kemampuan dalam hal finansial meliputi Sameton Bujangga, Sameton Pasek, Sameton Pande. Modal pun berhasil dikumpulkan, hingga mencapai total 100 juta rupiah lebih.
Setelah pembangunan banjar mampu diselesaikan, Catur Arbawa yang juga terpilih menjadi pemangku banjar selama 20 tahun ini. Ia banyak berkecimpung di bidang adat, budaya dan agama, seperti menjadi pemangku di Pura Banjar Gelogor, pemangku di Pura Kepuh Kembar dan Pura Prajapati (Pura Dalem Kahyangan Badung), Mangku Gede (Merajan Tanjung Mas), sebagai penyarikan di Desa Pekraman Denpasar, sebagai Ketua Umum PBMM Denpasar, Sekjen Pusat PBMM, Ketua Tim Penyusunan Panduan Kepemangkuan PBMM, Parhyangan PBMM di Besakih, menjadi Penasihat/ Penglingsir di berbagai insitusi seperti, di Pura Tegal Ayu, Pura Ibu Kesiman, Banjar Gelogor, Paguyuban Suka Duka, Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem Desa Pakraman Denpasar.
Seiring berjalannya waktu dan pengabdiannya dalam rohani, ia mendapat bisikan dari garis keturunan leluhur, Bhatara Hyang Kompyang dan Bhatara Hyang IBU, untuk diminta melinggih sebagai Pandita/Sulinggih. Bhatara Hyang Kompyang, selain sebagai pemangku, beliau dahulu juga bertindak sebagai Usadha atau Balian, dengan kepemilikan lontar-lontar yang ditulis oleh beliau sendiri. Dari beliau ia mendapat bisikan, untuk segera menjadi pemangku. Setiap malam Catur Arbawa melakukan persembahyangan, bisikan-bisikan tersebut semakin datang dan memanggilnya. Puncaknya, saat cucu ke 10 Komang Ayu Aishwaraya lahir dan nunas baos, ia kembali diminta untuk segera melinggih. Melalui cucunya tersebutlah, pada 1 Agustus 2018, Buda Pon Medangkungan merupakan hari penting Catur Arbawa menjalankan upakara madiksa di lokasi kediaman Jalan Bukit Tunggal VII/5-Gelogor- Pemecutan, Denpasar dan diberi gelar Ida Pandita Dwitya Acarya Manik Mas dan istrinya, Ida Pandita Istri Mas Ratna Sari.
Catur Arbawa tumbuh menjadi sosok yang cerdas dalam intelektual, pengusaha dan dunia spiritual. Hal ini pun ingin ia tularkan pada generasi muda agar semakin menyadari pentingnya membekali diri mereka dengan ilmu demi masa depan. Karena semakin seseorang matang dengan ilmu yang dimilikinya, pandangannya dalam menatap dunia pun lebih luas dan terbuka. Agar kelak di masa depan, generasi muda mampu menghadapi persaingan dalam tantangan global.
Setelah Catur Arbawa melinggih menjadi Pandita/Sulinggih, sekarang sehari-harinya bertempat tinggal di Griya Pita Maha Pangeran Bendesa Manik Mas, dengan kesibukan menulis/membuat buku-buku yang bernafaskan spiritual. Untuk urusan bisnis/pengelolaan Hotel Catur Adi Putra diserahkan kepada anak pertama (Putu Bagus Yoga Mahendra). Ia mengungkapkan kebahagiaannya karena saat ini telah memiliki anak dan anak menantu yang seluruhnya sudah mencapai tingkat pendidikan hingga S2, bahkan ada yang sudah menyelesikan kuliah S3 di Universitas Indonesia- Jakarta, yakni anaknya yang paling bungsu, Ketut Bagus Saguna Narayana yang saat ini tengah berkarir di Jakarta.