Berteman dengan Kegagalan, Bertumbuh dalam Relasi

Di Desa Belega, Gianyar, berdiri PT Putra Tri Datu, sebuah perusahaan konstruksi spesialis kayu dan bambu oleh I Gusti Ngurah Purwanawa. Namun, jangan terburu-buru menilai kesuksesannya hanya dari tampilan luarnya. Sebab, di balik pencapaian itu, ada perjalanan panjang yang dipenuhi rintisan dan kegagalan bertubi-tubi. Fokus kita adalah pada bagaimana jaringan relasinya terus berkembang, menjadi dukungan kuat yang mendorongnya untuk tetap setia sebagai pebisnis lokal yang menemukan kejayaannya.

Bisnis pertama Purwanawa adalah toko servis komputer, yang terinspirasi dari pengalaman kerjanya di toko milik sang kakak. Berbekal minat besar di bidang IT, ia bekerja dengan antusias, menyerap banyak ilmu meskipun tidak memiliki latar belakang pendidikan formal di bidang tersebut. Dengan tekun, ia belajar seluk-beluk servis komputer dan pemrograman hingga benar-benar menguasainya. Setelah 5 tahun, Purwanawa pun mendirikan bisnisnya sendiri. Istimewanya, pada masa itu, usaha sejenis masih jarang ditemui. Ia pun menawarkan harga yang terjangkau. Hasilnya, toko berkembang pesat hingga memiliki 3 cabang di Denpasar. Reputasinya pun meluas, tidak hanya dipercaya oleh masyarakat umum dan para penyuplai, juga menjadi rekanan andalan bagi sejumlah instansi pemerintahan. Sayang, fokus Purwanawa sempat terpecah karena kondisi kesehatan anaknya yang tidak stabil selama 2 tahun. Akhirnya, dengan pertimbangan keluarga, ia memutuskan untuk menutup bisnis servis komputer tersebut.

Tahun 2011, ia mencoba peruntungan baru di Bima, Nusa Tenggara Barat, dengan terjun ke bisnis kayu sonokeling. Ia menggandeng investor dan menjalankan sistem bagi hasil. Prospek bisnis ini sebenarnya cukup menjanjikan. Namun, ketersediaan bahan baku cepat menipis, dan konflik lokal membuat situasi semakin rumit. Persaingan usaha di daerah tersebut memanas. Purwanawa bahkan hampir kehilangan nyawa karena sempat digerebek oleh warga desa. Persoalan muncul akibat pembagian penghasilan yang tidak merata, serta adanya ketidakjujuran antar pihak desa yang membuatnya terjebak dalam konflik dan adu domba. Situasi itu memaksanya meninggalkan seluruh harta benda, termasuk mobil dan motor dan kembali ke Bali demi menyelamatkan diri.

Gagal, Bangkit Lagi Berkat Dukungan Relasi

Setelah kembali ke Bali, Purwanawa bangkit dengan merintis usaha, yang akrab di lingkungan tempat tinggalnya yaitu memproduksi tumpeng untuk sesajen. Ide ini juga datang dari para relasi yang menyarankannya untuk terjun ke bisnis yang sudah ada dengan satu prinsip kenali kekurangannya, lalu tawarkan kelebihannya. Purwanawa pun mengambil langkah itu. Ia mengamati dan memodifikasi sistem, dari segi kualitas hingga layanan. Selama 2 tahun menjalani usaha ini, ia berhasil mencatat omzet hingga Rp 25 juta per bulan. Periode paling ramai terjadi dalam 2 bulan dari 6 bulan operasional aktif. Puncak kesibukan biasanya menjelang Hari Raya Galungan. Dalam satu hari, ia bisa menghabiskan 100 hingga 300 kilogram beras, dan karena itu ia belajar untuk menyiapkan stok lebih awal, bahkan 4 bulan sebelumnya. Pengalaman di tahun pertama, di mana ia kewalahan akibat kurangnya stok menjadi pelajaran berharga. 6 bulan berikutnya, ia lebih siap, baik secara produksi maupun logistik.

Menyadari bahwa bisnis tumpeng sesajen bersifat musiman, Purwanawa kembali membuka diri terhadap peluang lain. Kali ini ia mencoba melamar sebagai karyawan di lima perusahaan, dengan satu tujuan mempelajari manajemen dari dalam. Ia tak mempermasalahkan posisi apa pun yang diberikan, asalkan bisa mengamati dan memahami cara kerja sebuah perusahaan secara langsung. Sampai ia diterima bekerja di sebuah perusahaan konstruksi bambu milik warga negara asing. Di sana, ia memulai dari posisi paling bawah, sebagai tukang bersih-bersih dan sopir. Tapi, berkat ketekunan dan rasa ingin tahunya yang besar ia naik level hingga dipercaya membantu menggambar struktur sipil, bidang yang sejatinya membutuhkan latar pendidikan khusus. Ia belajar secara autodidak, langsung dari lapangan.

Setiap proyek yang ia tangani, dijanjikan mendapat 5% dari total keuntungan. Mendengar itu, Purwanawa bekerja keras dan bahkan rela menghabiskan seluruh tabungannya demi menyukseskan proyek-proyek tersebut. Ia terlibat dari awal hingga akhir, terutama dalam perhitungan biaya dan pelaksanaan. Sebagai orang yang ikut menghitung dan memonitor proyek secara menyeluruh, ia tahu persis mana proyek yang untung dan mana yang tidak. Namun, masalah muncul saat proyek diserahterimakan, sang pemilik mengklaim bahwa proyek mengalami kerugian, bagian 5% yang seharusnya menjadi haknya pun tak pernah diberikan. Padahal secara prinsip, kerugian perusahaan tidak seharusnya menghilangkan hak atas 5% yang dijanjikan, karena itu adalah bagian dari kesepakatan atas kontribusinya dalam proyek, bukan laba perusahaan secara keseluruhan. Buruknya, kesepakatan tersebut tidak pernah tertulis secara resmi. Ia memutuskan untuk mengundurkan diri setelah 2 tahun bekerja. Di tengah kekecewaan, ia tidak sendiri. Teman-temannya yang melihat kegigihannya justru mendukung penuh agar ia membuka usaha sendiri.

Benih bisnis PT Putra Tri Datu, dimulai saat Purwanawa ikut memborong proyek bambu bersama relasi dari Flores. Ia sempat berada di Flores selama 3 bulan untuk menyelesaikan proyek tersebut. Bersama 22 orang tenaga kerja, ia menangani proyek 4 bangunan berukuran masing-masing 5×10 meter. Setelah itu, ia mendapat kesempatan proyek di Medan, meski sempat mengalami keterlambatan pengiriman material, proyek tersebut kembali berhasil dikerjakan. Pengalamannya tak terhenti di dalam negeri. Ia juga dipercaya untuk menangani proyek di Maldives sebagai pemecah struktur. Proyek di Maldives ini menjadi tonggak penting dalam karier Purwanawa. Selain membawa nama baik Bali ke kancah internasional, proyek tersebut juga memperkaya pengalamannya dalam bekerja lintas budaya dan standar profesional global. Seiring waktu, setelah mengumpulkan cukup modal dan pengalaman, barulah ia secara resmi mengurus legalitas perusahaan dan mendirikan PT Putra Tri Datu pada tahun 2019. Saat PT baru berdiri, tantangan besar datang, pandemi Covid-19. Dan bersamaan dengan peristiwa itu, beruntungnya ia sudah berada di Maldives dengan situasi lockdown yang baru diberlakukan. Sehingga ia bisa tetap menjalankan proyek selama 6 bulan di sana. Sementara itu, aktivitas perusahaannya di Indonesia sempat benar-benar berhenti total.

Dari Dukungan Relasi ke Dedikasi Sosial

Setelah pandemi mereda, ia kembali aktif dan memperluas relasi bisnisnya. Kini, perusahaannya memiliki cabang di Medan dan Jakarta, masing-masing dikelola oleh tim yang ia percaya dengan menggunakan nama perusahaan yang sama. Tak hanya membangun bisnis konstruksi berbasis bambu, Purwanawa juga mendirikan sebuah yayasan bagi para pekerja bambu. Yayasan ini hadir sebagai bentuk komitmennya untuk menyeimbangkan antara pertumbuhan usaha dan kesejahteraan para tenaga kerja. Setiap 6 bulan sekali, para pekerja menjalani pemeriksaan kesehatan rutin. Di hari-hari besar keagamaan, mereka juga menerima santunan sebagai wujud kepedulian sosial perusahaan. Kepedulian sosial Purwanawa tak sampai di situ. Ia yang berencana akan pensiun di usia 50 tahun, kini mulai mempersiapkan generasi penerus. Sudah ada satu hingga 3 orang yang ia latih secara intensif selama 6 bulan tahun terakhir. Ia pun aktif mencari anak-anak muda yang bersedia menjadi pengrajin bambu. Ia ingin mencetak regenerasi yang tangguh, inovatif, dan berkarakter kuat agar bisnis bambu ini terus tumbuh dan lestari.

Sempat mengalami pasang surut dalam perjalanan bisnisnya, Purwanawa tidak lekas menyerah. Justru dari lika-liku tersebut, ia membangun jaringan dan mendapatkan relasi yang kemudian melahirkan bisnisnya yang sekarang. Untuk selanjutnya, kegigihan, kepedulian sosial, dan semangat belajar adalah fondasi utama dalam meraih keberlanjutan. Prinsip itu yang kini mengakar dalam setiap langkah dan keputusan yang ia ambil sebagai pemimpin, pengusaha, sekaligus pembina generasi penerus di PT Putra Tri Datu.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!