Bekerja Berlandaskan Yadnya dalam Menjalankan Misi Sosial

Bekerja dari hati berlandaskan yadnya merupakan pondasi utama sosok Kadek Wiradana dalam menjalani profesinya sebagai pengacara. Berbekal pengalaman hidup serta sempat merasakan jatuh bangunnya kehidupan, lewat tangan terampilnya dalam memahat patung serta kemampuan berdebat yang mumpuni, Kadek Wiradana kini berhasil menjadi seorang pengacara sekaligus wirausahawan sukses sehingga mampu memberikan pengabdian di tanah kelahirannya di Desa Sebatu, sebuah desa terpencil yang kini tempatnya mengabdi.

Bersama Keluarga

Terlahir dari sebuah keluarga petani sederhana, Kadek menghabiskan masa kecil lewat didikan ayah yang bekerja sebagai petani yang mengelola lahan warisan peninggalan kakek, serta ibu yang bekerja sebagai pedagang di Desa Sebatu yang merupakan desa yang terkenal sebagai pusat kerajinan. Hal ini turut berkontribusi pada pengembangan diri Kadek sehingga saat masih duduk di bangku sekolah, Kadek mulai terjun dalam dunia kerajinan. Masa kecil Kadek diwarnai dengan kesibukan bekerja setelah sepulang sekolah. Banyak kisah menarik pada masa kecil Kadek saat membantu ayah membajak sawah memakai kerbau.

Sosok Orang Tua

Berbagai nasihat dari orang tua hingga kini masih digenggam Kadek, yaitu ia harus selalu mengukur diri dan hal tersebut terus ditekankan kedua orang tua hingga tutup usia. Didikan orang tua secara tidak langsung diberikan kepada Kadek lewat aksi nyata kedua orang tua dalam bekerja keras, di mana apapun yang dilakoni harus sesuai dengan kemampuan serta mengedepankan usaha ketika menginginkan sesuatu. Kedisiplinan serta kemandirian merupakan dua hal yang selalu ditekankan kepada dirinya hingga mampu menjadi seperti saat ini. Pertama kali terjun dalam seni patung saat duduk di bangku kelas 1 SD. Masih segar dalam ingatan, ketika itu, ibu Kadek membelikannya kayu agar tidak memberatkan teman-teman lain yang sedang belajar patung pada saat itu.

Orang tua memberikan dukungan penuh pada Kadek agar tekun berlatih membuat patung, supaya tidak merasa malu oleh karena lingkungan sekitar sebagian besar anak pada saat itu bisa membuat patung. Tidak hanya itu, sang Ibu juga membelikan peralatan memahat kayu dan Kadek hanya meminjam tempat untuk berlatih dan menimba ilmu seni patung di sana setelah sepulang sekolah, sekaligus menjadikan mematung sebagai mata pencaharian. Patung Singa merupakan patung pertama buatan Kadek dan dibandrol harga senilai Rp5.000, di mana hasil jerih payah Kadek tersebut digunakan untuk membeli mainan. Hal ini terus dilakukan hingga Kadek duduk di bangku SMP dan hasil penjualan patung ia pergunakan untuk membeli sesuatu yang sedang tren pada saat itu.

Ketika menjelang hari raya besar seperi Galungan dan Kuningan, upah hasil kerja keras Kadek dipergunakan untuk membeli keperluan sembahyang. Hal ini menjadi dorongan semangat bagi Kadek untuk terus berpenghasilan sendiri sehingga seiring jalannya waktu, Kadek tidak lagi memberatkan kedua orang tua dalam segi finansial. Meskipun Kadek kini memiliki penghasilan sendiri dan membagi waktu antara sekolah dan bekerja, pendidikan merupakan hal yang utama dan ini selalu ditanamkan ke dalam diri Kadek oleh orang tua yang menginginkan Kadek memprioritaskan pendidikan. Sehingga dalam segi akademis, Kadek merupakan siswa yang berprestasi pada saat duduk di bangku sekolah dasar.

Memasuki masa SMP, Kadek resmi menjadi pengrajin patung dan mulai bekeja sepulang sekolah. Patung yang dibuat seperti topeng dan lain-lain. Meskipun sudah berpenghasilan, peran orang tua tidak terlepas pada Kadek termasuk memberikan fasilitas berupa kendaraan bermotor membantu pekerjaan Kadek sebagai pematung. Sosok Kadek yang senantiasa mengikuti tren membuat penghasilannya dialokasikan pada hal tersebut selayaknya anak muda pada umumnya yang masih dalam tahap rasa ingin tahu dan selalu ingin mencoba hal baru. Namun, Kadek memiliki batasan dalam mengikuti tren yang beredar pada saat itu sehingga tidak mudah terjerumus hal negatif di masa muda.

Setiap kehidupan tentu ada banyak hal yang menjadi kenangan manis masih tersimpan di dalam benak Kadek seperti mengikuti kelompok belajar, membantu menggarap kebun yang saat itu ditanami jeruk, kopi dan vanili serta belajar menanam bibit tidak lupa membantu ayah untuk membajak sawah. Satusatunya kenangan pahit yang hingga kini masih terkenang adalah pada saat itu ia menolak untuk pergi ke sekolah oleh karena celananya sobek, kemudian ayah Kadek menjahitnya kembali demi sang anak agar mau berangkat sekolah ditengah keterbatasan, rasa cinta seorang ayah terhadap anaknya begitu terasa saat itu dan hal tersebut yang membuat Kadek merasa jengah dan bertekad suatu saat nanti ia harus menjadi orang yang sukses. Kadek menghabiskan masa remaja di Denpasar dengan tinggal bersama kerabat yang pada saat itu menetap di Denpasar. Meskipun Kadek menumpang tinggal, Kadek tidak serta merta hanya menumpang, tetapi ikut membantu keseharian di dalam rumah pada saat itu seperti menyapu, mengantar keponakan dan setiap seminggu sekali pulang ke rumah di Sebatu.

Dari segi pergaulan pun Kadek termasuk anak muda yang kerap mengikuti tren namun tidak berlebihan. Mengikuti banyak kegiatan positif menjadi salah satu bagian dari keseharian Kadek di masa muda. Menginjak SMA, kehidupan Kadek mengalami perubahan yang cukup drastis, di mana keadaan ekonomi keluarga mulai terpuruk pada saat itu. Saat itu Kadek menyadari rasa sukanya saat menonton orang berdebat di pengadilan yang membawanya pada sebuah keputusan besar untuk terjun dalam bidang hukum.

Akhirnya setelah lulus SMA, Kadek mencoba peruntungan lain dan mengambil jeda sebelum masuk kuliah sambil membantu mengangkat kembali perekonomian keluarga. Pernah berjualan patung yang ia pinjam dari teman, kemudian ia jual dengan hasil dibagi rata. Seiring jalannya waktu, Kadek akhirnya mampu membuka toko patung dan mulai menerima pesanan yang ia titip di beberapa art shop pada saat itu dan rajin mengikuti pameran yang diikuti pengusahapengusaha besar. Setelah perekonomian keluarga mulai membaik dan dua tahun bekerja, akhirnya Kadek mulai kuliah di Universitas Mahendradatta. Setelah lulus kuliah, Kadek mengikuti tes di kejaksaan namun tidak lolos, akhirnya Kadek banting setir lalu melamar kerja di bank. Dari sini, Kadek bertemu banyak para nasabah yang datang dari kalangan pengusaha dan memperoleh ilmu tentang dunia properti.

Alasan utama Kadek untuk menjadi advokat karena melihat masyarakat di desa banyak yang tertimpa masalah hukum dan mereka kebingungan untuk meminta bantuan. Stigma negatif profesi advokat menjadi salah satu tujuan Kadek untuk menghapus hal tersebut sehingga kembali membangkitkan rasa percaya masyarakat pada advokat dan membantu mereka sekaligus ber-yadnya. Berbagai pokok perkara berhasil ditangani olehnya, sehingga ia begitu disegani lewat prestasinya sebagai advokat. Niatnya yang tulus dalam menjalankan usaha sekaligus misi sosial ia berharap diberi umur panjang agar dapat terus membantu masyakarakat khususnya dalam bidang hukum.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!