Asah Keterampilan dan Bangun Jiwa Kepemimpinan, Jangan Lupa “Word of Affirmation”

Pasangan suami istri, I Wayan Denes dan Yana sama-sama memiliki latar belakang orang tua sebagai petani. Kerasnya kehidupan sebagai anak petani kala itu, mendorong keduanya dididik mengelola pekerjaan sejak belia dan masa bermain mereka pun disikapi dengan bekerja sembari bermain. Meski dalam segi ekonomi Yana lebih beruntung daripada suami, tetapi keduanya memiliki tingkat kebersyukuran dan kerja keras yang seimbang. Mereka sama-sama menghargai apa yang mereka miliki saat itu, meski kehidupan tidak selalu mudah.

Di masa belia hingga memasuki masa remaja, I Wayan Denes dan Yana hidup sebagai anak petani yang harus membantu orang tua mereka di ladang setiap hari. Bagi mereka, istilah family time lebih merujuk pada kebersamaan dalam bekerja. Mereka bersama-sama bekerja di ladang, menanam, merawat dan memanen hasil tanaman. Mereka saling membantu dan bekerja keras bersama-sama, sehingga dapat menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dan lebih efektif. Ketika memiliki waktu luang, orang tua Yana yang menjadi pelopor pemilik televisi di masa itu, menghabiskan waktu dengan menonton televisi bersama warga sekitar. Namun, kebersamaan dalam bekerja tetap menjadi prioritas utama bagi keluarga mereka.

Beranjak remaja, Denes memiliki ketertarikan melanjutkan ke sekolah pendidikan guru, tetapi tidak dapat dibantu oleh orang tuanya. Meskipun demikian, ia tetap melanjutkan ke SMA dengan biaya sendiri dan bekerja sebagai buruh harian. Setelah itu, ia dibiayai oleh pamannya dan melanjutkan kursus perhotelan di P4B (Pusat Pendidikan Perhotelan dan Pariwisata Bali) di Kuta, Badung. Setelah tamat, Denes bekerja sebagai pencuci piring di Made’s Warung sebelum diangkat menjadi waiter, dan kemudian bekerja di Four Season Hotel hingga saat ini. Sementara itu, Yana mengalami kesulitan biaya karena orang tua harus serempak membiayai lima orang saudaranya yang lain, ditambah ia harus cuti panjang karena peradangan pada lutut, sehingga ia tidak tamat SMA. Ia memutuskan untuk belajar menjahit baju di Denpasar dan kemudian pindah ke paman untuk belajar menjahit untuk pelanggan wisatawan asing. Yana dan Denes yang memiliki pengalaman hampir sama, seolah berikrar akan mengganti masa remaja yang hilang dengan kebahagiaan mereka di masa tua.

Benar saja setelah menikah, pasangan asal Singaraja ini mulai membuka usaha warung di rumah, sembari Yana kursus terapis SPA yang tren saat itu. Setelah mendapat sertifikat, ia bekerja berpindah-pindah hotel, dari Paradiso Beach Inn, Oasis Hotel hingga muncul keinginan membuka SPA sendiri. Setelah berunding dengan suami, didirikanlah “Bali New Opium” yang kini sudah berjalan 10 tahun.

Kisah sebenarnya lokasi SPA saat ini, ialah bekas perusahaannya dahulu. Setelah ia keluar, bosnya yang tak banyak tahu soal SPA, kemudian melepaskan bisnis tersebut dan diambil alih lokasinya oleh Yana. Kendati mungil, SPA ini pamor di kalangan wisatawan karena pelayanan berkualitas dan massage yang baik. Tak diragukan, Yana mengklaim dirinya sebagai pemilik, menawarkan gaji yang layak dan pelatihan yang intensif untuk calon terapis. Bahkan selama pandemi Covid-19, Bali New Opium tetap buka dan berhasil menjalankan kebutuhan operasional.

Dalam pengalaman bisnis mereka, Denes dan Yana berharap dapat memotivasi generasi muda untuk terus mengembangkan keterampilan mereka dan tumbuh menjadi leader di perusahaan mereka sendiri. Yana juga mendorong orang-orang untuk selalu menggunakan word of affirmation atau kata-kata afirmasi, misalnya tercermin dalam kata-kata favoritnya, “Jangan pernah mengatakan tidak bisa, tapi selalu katakan bisa, walau sedikit”. Kata-kata yang terdengar sederhana namun mencerminkan filosofi hidup pasangan ini, bahwa dengan memperkuat keyakinan diri dan selalu berpikir positif, seseorang dapat mencapai apapun yang diinginkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!